Kapolda Jabar Ingatkan Bahaya Anarkhisme Digital, Sinergi dan Literasi Jadi Kunci Pencegahan

Kapolda Jabar Ingatkan Bahaya Anarkhisme Digital, Sinergi dan Literasi Jadi Kunci Pencegahan

Kepolisian Daerah Jawa Barat menegaskan bahwa potensi anarkhisme di ruang digital semakin meningkat seiring dengan derasnya arus informasi dan perkembangan teknologi. Peringatan ini disampaikan dalam Program Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan (PPNK) Angkatan ke-221 yang digelar Lemhannas RI di Bandung, dengan materi utama bertajuk “Keamanan Media Digital untuk Menghadapi Bahaya Anarkhisme”

Dalam pemaparan tersebut, Lemhannas menyoroti bagaimana revolusi digital dan konektivitas global tanpa batas tidak hanya membawa manfaat, tetapi juga menghadirkan risiko serius terhadap stabilitas sosial dan keamanan negara.

Media digital, yang seharusnya menjadi sarana interaksi dan edukasi, kini juga dimanfaatkan sebagai medium penyebaran propaganda, ujaran kebencian, hingga provokasi yang dapat berujung pada aksi anarkis. Konten yang bersifat provokatif kerap menyebar cepat karena dorongan algoritma media sosial, kemudian bergema dalam grup-grup tertutup, hingga akhirnya memicu mobilisasi massa dan tindakan nyata di lapangan.

Rekaman aksi tersebut kemudian diunggah kembali dan menjadi bahan provokasi baru, menciptakan siklus kekerasan yang berulang dari dunia digital ke dunia nyata.

Data yang dipaparkan menunjukkan, sekitar setengah dari pengguna internet di Indonesia mengikuti apa yang sedang viral tanpa verifikasi, sementara 41,8 persen terpapar hoaks atau propaganda yang melemahkan kepercayaan pada institusi negara. Komunitas digital yang homogen juga rawan menjadi ruang radikalisasi, sementara diskusi tanpa etika memperbesar potensi ujaran kebencian.

Fenomena “fear of missing out” atau FOMO mendorong masyarakat ikut-ikutan tanpa memahami substansi, sehingga memperbesar risiko terjadinya kerusuhan spontan.

Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan S.I.K., MH menegaskan bahwa kondisi ini harus menjadi perhatian serius semua pihak.
Ia mengatakan, media sosial saat ini bukan lagi sekadar sarana komunikasi, tetapi telah menjelma menjadi ruang yang bisa menggerakkan massa dalam waktu singkat. Konten hoaks, ujaran kebencian, atau ajakan yang mengarah pada kekerasan dapat viral hanya dalam hitungan jam, lalu memicu aksi di lapangan.

Hendra mengingatkan masyarakat untuk selalu berhati-hati, melakukan verifikasi informasi sebelum membagikannya, serta melaporkan apabila menemukan konten yang jelas-jelas mengandung provokasi atau ajakan untuk melakukan tindakan anarkis.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa upaya pencegahan dan penanganan anarkhisme digital tidak bisa dilakukan polisi semata. Aparat penegak hukum, pemerintah, akademisi, tokoh agama, masyarakat sipil, bahkan platform digital harus bersinergi. Literasi digital menjadi kunci utama agar masyarakat lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh arus informasi yang belum jelas kebenarannya.

Menurutnya, selain edukasi publik, penegakan hukum juga harus dijalankan secara tegas, proporsional, dan transparan terhadap pihak-pihak yang terbukti menyebarkan konten provokatif.

Polda Jabar sendiri telah menyiapkan strategi operasional berupa monitoring ketat terhadap konten di media digital, analisis jaringan penyebar provokasi, hingga profiling akun-akun yang dicurigai.

Mekanisme peringatan virtual juga diterapkan sebagai langkah persuasif sebelum dilakukan penindakan hukum. Apabila terbukti melanggar ketentuan pidana, polisi tidak segan untuk melakukan proses penyidikan dan menindak sesuai aturan yang berlaku.

Di sisi lain, upaya edukasi publik juga diperkuat melalui kampanye siber. Polda Jabar bersama berbagai pihak akan menghadirkan konten edukatif yang disampaikan dalam bentuk audio-visual dengan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga figur publik.

Konten tersebut akan disebarluaskan melalui berbagai platform populer seperti YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, hingga podcast di Spotify. Tujuannya adalah membangun kontra-narasi yang sehat agar masyarakat tidak terjebak dalam arus homogenisasi digital yang berbahaya.

Pilar utama penanganan anarkhisme digital, sebagaimana ditegaskan dalam forum Lemhannas, meliputi keamanan digital dengan deteksi ancaman siber, penerapan etika digital melalui verifikasi fakta dan perlindungan privasi, peningkatan keterampilan digital untuk memperkuat literasi masyarakat, serta pengembangan budaya digital yang inklusif.

Semua pilar tersebut harus berpijak pada Pancasila sebagai fondasi ideologi bangsa, integritas kepemimpinan, dan komitmen menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kombes Pol Hendra Rochmawan menutup dengan penekanan bahwa menjaga ruang digital tetap sehat adalah tanggung jawab bersama.
Menurutnya, jika sinergi antara aparat, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan berjalan dengan baik, maka ruang digital dapat menjadi arena yang produktif untuk demokrasi dan kebebasan berekspresi yang konstruktif, bukan sarana provokasi yang mengancam persatuan bangsa.

Bandung 30 September 2025

Dikeluarkan oleh Bid Humas Polda Jabar

Leave a Reply